Minggu, 28 Maret 2021

Indikasi Korupsi Diangkatnya Pensiunan Jadi Sekdaprov Jatim

Indikasi Korupsi Diangkatnya Pensiunan Jadi Sekdaprov Jatim

Seri Perempuan Pemimpin Jatim] Napak Tilas Karier Politik Khofifah Indar  Parawansa

Pengangkatan Heru Tjahjono sebagai pelaksaan harian sekretaris daerah Provinsi ( Sekdaprov ) Jawa Timur, masih ramai dibicarakan banyak pemerhati pemerintahan. Salah satunya karena ketika diangkat jadi Sekdaprov Jatim Heru sudah berusia 60 tahun dan memasuki masa pensiun. Sabtu ( 27/03/2021 )

Akan tetapi kontroversi tentang Sekdaprov Jatim tidak hanya berhenti di usia saja, ada salah satu pegawai di jajaran Pemprov Jatim yang mewanti – wanti tidak disebutkan namanya menyebutkan

"Sekdaprov sangat dekat dengan gubernur Khofifah indarparawansah. Saya dengar Sekdaprov minta jabatannya di perpanjang hingga tahun 2022, agar kendali semua proyek masih didirinya. Pada anggaran 2020 – 2021 ini contohnya sudah berhembus kabar bahwa setiap proyek harus ada cash back 6 – 7% pada Sekdaprov."

" tidak hanya proyek, ada dugaan bantuan keuangan dari Pemprov kepada kabupaten/kota juga ada potongan 7% . Akan tetapi gubernur Jatim masih merasa nyaman dengan Sekdaprov Heru Tjahjono. Seakan – akan akan ada persiapan pada pilgub mendatang, sekenario pasangam khofifah – heru. " tegasnya sambil mewanti – wanti namanya dirahasiakan.

Sementara itu Khofifah ketika dihubungi melalui HP/WA nya 0811-8788-888 belum ada tanggapan, demikian juga ketika Sekretaris Pribadi Khofifah, Ibu Luluk dihubungi melalui selularnya 0812-8659-6652 juga belum memberikan jawaban


Selasa, 16 Februari 2021

9 Milyar Dana Pembangunan Museum SBY Bukan APBD Pacitan Tapi Dari Gubernur Khofifah Sumbernya APBD Jatim

9 Milyar Dana Pembangunan Museum SBY Bukan APBD Pacitan Tapi Dari Gubernur Khofifah Sumbernya  APBD Jatim

Inline image

Bupati Pacitan Indartato membantah dana Rp 9 miliar untuk Yudhyono Foundation bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Jatim).

Menurut dia, dana tersebut merupakan dukungan dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yakni pemerintah
provinsi (pemprov) Jatim untuk pembangunan museum Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Kabupaten Pacitan.

"Bukan dari APBD Pacitan. Itu dari pemeritah provinsi yang memberikan bantuan namanya bantuan keuangan khusus (BKK) kepada pemerintah daerah untuk pembangunan museum Pak SBY," katanya pada salah satu siaran TV Nasional

Indartato menerangkan, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Pacitan awalnya mengusulkan dana bantuan untuk pembangunan Museum SBY.

Kemudian dana yang disebut sebagai bantuan keuangan khusus (BKK) itu diterima oleh Pemda Kabupaten Pacitan pada 9 Desember 2020 lalu.

Dana tersebut selanjutnya dimasukkan dalam APBD Kabupaten Pacitan Tahun 2021. (https://www.kompas.tv/article/147275/bupati-pacitan-sebut-dana-rp-9-miliar-itu-untuk-bantuan-pembangunan-museum-sby)

Terkait dugaan adanya muatan politis dalam pencarian dana hibah tersebut, Indartato tegas membantah. Tujuannya, kata dia, semata untuk kesejahteraan masyarakat Pacitan. (https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5375682/heboh-soal-kucuran-rp-9-m-untuk-museum-sby-ini-kata-bupati-pacitan/2)

Tampaknya apa yang dikatakan oleh Bupati Pacitan tersebut tidaklah berlbihan. Semangat Khofifah membangun museum SBY memakai dana APBD provinsi Jatim ini ditunjukkan dengan kedatangan Gubernur Jatim memantau langsung pembangunan museum ini ke Pacitan sebagaimana ditunjukkan status twitter pribadinya @KhofifahIP

Pada akun resminya https://twitter.com/KhofifahIP/status/1317787916127498240 Khofifah menulis status: "Melihat progres pembangunan Museum SBY - Ani (Pepo & Memo) di Jalan Lingkar Selatan (JLS), Pacitan. InsyaAllah, museum dan galeri seni sekitar 7.500 meter persegi ini selesai Maret 2021 mendatang & akan dibuka bagi masyarakat umum pada tahun 2022. Mohon do'a semoga lancar sukses"

Sementara itu Khofifah ketika dihubungi melalui HP/WA nya 0811-8788-888 belum ada tanggapan, demikian juga ketika Sekretaris Pribadi Khofifah, Ibu Luluk dihubungi melalui selularnya 0812-8659-6652 juga belum memberikan jawaban

Sebagaimana diketahui, bahwa sebelumnya viral kabar bahwa Pemerintah Kabupaten Pacitan telah memberi dana hibah sebesar Rp 9 miliar yang masuk ke Yudhoyono Foundation, yayasan yang didirikan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Kabar tersebut bahkan heboh di media sosial. Yayasan Yudhoyono Foundation dikatakan mendapatkan hibah sebesar Rp 9 miliar anggaran APBD Kabupaten Pacitan Tahun Anggaran 2021.

Minggu, 07 Februari 2021

Gak Kapok, Anak Rhoma Irama Lagi-Lagi Ditangkap Karena Narkoba

Gak Kapok, Anak Rhoma Irama Lagi-Lagi Ditangkap Karena Narkoba

Kabar mengejutkan kembali datang dari dunia selebritas Tanah Air. Pedangdut Ridho Rhoma kembali ditangkap polisi terkait kasus narkoba.

"Benar,' kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus saat dikonfirmasi, Minggu (7/2/2021).

Informasi yang diterima detikcom Ridho Rhoma ditangkap oleh jajaran Sat Narkoba Polres Pelabuhan Tanjung Priok. Ridho ditangkap di sebuah apartemen di pada Kamis (4/2).

Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok AKBP Ahrie Sonta juga membenarkan soal penangkapan Ridho Rhoma ini saat dihubungi.

"Betul. Nanti lengkapnya bisa ditanyakan ke Polda Metro saja," ujarnya.

Ini bukan kali pertama anak pedangdut Rhoma Irama ini terjerat kasus narkoba. Ridho Rhoma pernah ditangkap polisi pada 25 Maret 2017 lalu. Polisi saat itu menyita barang bukti sabu seberat 0,7 gram berikut alat isapnya.



Sabtu, 06 Februari 2021

SATYAGRAHA: WARTAWAN YANG TERLUPAKAN

SATYAGRAHA: WARTAWAN YANG TERLUPAKAN
Oleh: Imron Hasibuan

Inline image

Menjelang Hari Pers Nasional, saya memposting ulang tulisan enam tahun lalu tentang seorang wartawan yang seakan terlupakan dalam catatan sejarah pers negeri ini.
-------------------------------------

Lelaki tua itu berdiri di tengah pintu rumah sederhana, di sebuah perumahan, di pingggir Kota Bekasi. Perawakannya sedang, agak membungkuk. Sebuah kacamata tebal menempel di wajahnya yang mengguratkan keramahan. "Perkenalkan, saya Satyagraha. Ayo, silakan masuk," katanya, sambil bersalaman.

Sesaat kemudian ia pun mulai berkisah. Menjelang Pemilu 1955, pemilihan umum pertama setelah kemerdekan Indonesia, partai-partai politik bersiap, terutama dalam melakukan agitasi- propaganda. Hampir semua partai besar di masa itu telah memiliki surat-kabar yang mendukung. Masjumi, misalnya, punya koran Abadi. PSI didukung Pedoman, yang dipimpin wartawan kawakan Rosihan Anwar. PKI punya organ resmi Harian Rakyat. Bahkan PSII (Partai Syarekat Islam Indonesia) menerbitkan Pemandangan.

Hanya Partai Nasional Indonesia (PNI) yang belum punya media resmi. Harian Merdeka, yang dipimpin BM Diah, hanya menyatakan sebagai simpatisan. Kebijakan redaksionalnya tidak harus selalu sejalan dengan garis PNI. "Melihat kondisi ini, Pak Sidik Djojosukarto, yang saat itu menjabat Ketua Umum PNI, memanggil beberapa pengurus DPP PNI untuk segera menerbitkan sebuah surat-kabar yang merupakan organ partai. Tujuannya untuk mengantisipasi pemilu yang akan segera digelar," kata Satyagraha.

Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa akan segera diterbitkan koran harian dengan nama Suluh Indonesia. Sebagai pemimpin umum ditunjuk M. Tabrani, salah seorang tokoh senior PNI yang juga digulis (orang yang pernah dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Digul, daerah terpencil di Papua). Sedangkan pemimpin redaksi dijabat Sajuti Melik, yang juga digulis.  "Saya diminta Pak Sajuti Melik menjadi redaktur pertama. Dalam praktiknya, saya merangkap sebagai reporter, korektor, dan lay-outer. Pak Sajuti, sebagai pemimpin redaksi, hanya menulis Tajuk. Saya hanya dibantu seorang wartawan bernama Hasan Gayo, yang pernah bekerja di surat kabar Indonesia Raya." Jadi, di masa-masa awal penerbitannya, Suluh Indonesia hanya punya awak redaksi tiga orang: Sajuti Melik, Satyagraha, dan Hasan Gayo.    
 
Setelah persiapan beberapa bulan terbitlah Suluh Indonesia. Edisi perdana Suluh Indonesia, yang kemudian dikenal dengan nama singkatannya, Sulindo, terbit 1 Oktober 1953. "Edisi perdana Sulindo itu dicetak di percetakan milik Sutan Takdir Alisyahbana, di Jalan Ketapang. Hanya empat halaman hitam putih, oplag sekitar 75 ribu eksemplar. Dari sore sampai tengah malam, saya dan Hasan Gayo mempersiapkan lay-outnya di percetakan. Pak Sajuti sempat mengecek ke percetakan, dan bilang: 'lay-outnya kok seperti susunan batu bata'. Saya jawab: yang penting terbit dulu, Pak. Ha..ha…"

Sejak itu, Sulindo terbit setiap hari, Senin sampai Sabtu. Respon masyarakat cukup bagus. Sebagian koran  didistribusi lewat cabang-cabang PNI di daerah, sebagian lagi lewat agen-agen surat-kabar.
Sajuti Melik menjadi pemimpin redaksi hingga Pemilu 1955 usai. Suasana kampanye pemilu, membuat pemasaran Sulindo melonjak. Oplag pun digenjot hingga 150 ribu eksemplar. Kata Satyagraha: "Di masa-masa kampanye pemilu, Suluh Indonesia secara jelas menunjukkan warnanya sebagai koran PNI. Semua kebijakan dan kegiatan partai disiarkan. Bahkan, lambang PNI, banteng segitiga, dipasang di halaman satu."  Hasilnya sukses besar: PNI keluar sebagai pemenang Pemilu 1955.

Tak lama setelah pemilu, Sajuti Melik digantikan M. Supardi. Tokoh terakhir ini sebelumnya menerbitkan surat-kabar Nasional, yang juga berhaluan nasionalis. Tapi, hanya terbit setahun, dan kemudian bangkrut. Saat Supardi pindah ke Sulindo, ia membawa awak redaksinya, ada sepuluh orang. Satyagraha tetap menjadi redaktur pertama.
Tak sampai setahun kemudian, Supardi diganti lagi oleh Manai Sophian, yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Proganda DPP PNI. Dibawah kepemimpinan Manai Sophian, Sulindo hampir sepenuhnya menjadi corong partai. Satyagraha masih menjadi redaktur pertama.

Dari Manai Sophian, pemimpin redaksi Sulindo beralih kepada Jusuf Muda Dalam. Satyagraha sempat memprotes pengangkatan Jusuf Muda Dalam kepada Sidik Djojosukarto. "Banyak yang tahu bahwa Jusuf Muda Dalam pernah menjadi anggota aktif PKI. Malah dia menduduki posisi penting di PKI, sebagai anggota tim verifikasi yang menentukan penempatan orang-orang di jabatan penting di PKI. Tapi, Pak Sidik bilang, dia sudah 'tobat', dan kini masuk PNI." Maka Satyagraha pun terpaksa menerima keputusan itu. Posisinya di Sulindo tetap sebagai redaktur pertama.

Di awal tahun 1957, Mohamad Isnaeni-- tokoh muda PNI yang sudah duduk sebagai anggota parlemen-- diangkat menjadi pemimpin redaksi Sulindo. Bersamaan dengan itu, Satyagraha diangkat menjadi wakil pemimpin redaksi. Selama gonta-ganti pemimpin redaksi, Satyagraha lah yang menjadi motor penggerak redaksi Sulindo sehari-hari. Tentunya dibantu para wartawan yang jumlahnya sudah cukup banyak.

Selain mengelola Sulindo, Satyagraha juga ditunjuk sebagai pemimpin redaksi Berita Minggu, koran yang hanya terbit setiap hari Minggu. Kantor redaksi dan sebagian awak redaksinya sama dengan Sulindo. Maka, mulailah Satyagraha mengubah Berita Minggu, menjadi koran yang mengangkat berita-berita populer yang terjadi ditengah masyarakat, dengan gaya penulisan populer pula.

"Dengan gaya populer itu, Berita Minggu sangat digemari masyarakat. Oplagnya pernah mencapai 350.000 eksemplar. Sampai-sampai kami kewalahan memenuhi permintaan agen-agen koran. Dengan dana dari Berita Minggu itulah, kami bisa menopang penerbitan Sulindo setiap hari. Bahkan, belakangan bisa mendirikan percetakan sendiri di Kemayoran," kenang Satyagraha.

Pemberitaan Suluh Indonesia dan Berita Minggu tidak selalu sejalan dengan kemauan para pemimpin PNI. Suatu kali, misalnya, Satyagraha ditegur Hardi, SH, Wakil Ketua Umum PNI, karena memuat pendapatnya di halaman dua Sulindo. Sementara pada berita headline di halaman depan, Sulindo memuat pendapat Lucien Pahala, tokoh Presidium GMNI, tentang masalah yang sama dikemukakan Hardi. "Menurut penilaian saya, pendapat Lucien Pahala yang lebih berbobot dan mendekati kebenaran. Karena itu, saya tampilkan di tulisan utama."

Suatu hari, Satyagraha diajak Sajuti Melik ke Istana Bogor, untuk bertemu Bung Karno. Itulah pertemuan pertama Satyagraha dengan Bung Karno. Saat bertemu, Bung Karno langsung bertanya: "Kamu siapa?"

"Satyagraha, Bung. Wartawan Suluh Indonesia dan Berita Minggu."

"Oh… Aku sering baca tulisan kamu di Sulindo, juga Berita Minggu. Apik…apik…," kata Bung Karno lagi.

Lalu, percakapan berlangsung akrab. Bung Karno menanyakan kota asal Satyagraha, yang langsung dijawab: "Blitar, Bung." Mendengar itu, Bung Karno bertanya lebih lanjut tentang keluarganya. Ketika Satyagraha menyebut nama ibunya, Bung Karno langsung menyela: "Oh… kamu anaknya Tuti. Saya kenal keluarga ibu kamu."

Di akhir pembicaraan, Bung Karno bilang: "Mulai besok, dari Suluh Indonesia kamu yang meliput di istana ya."

Sejak itu, Satyagraha pun resmi menjadi "wartawan istana", yang meliput berbagai kegiatan Presiden Soekarno, terutama lawatan ke luar negeri. Ia, misalnya, pernah mengikuti lawatan Bung Karno ke Amerika Serikat, September 1960, untuk berpidato di depan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pidato berjudul "To Build The World a New" itu mendapat sambutan meriah dari peserta sidang.  "Sebagai bangsa Indonesia, saya bangga sekali melihat Bung Karno berpidato berapi-api di depan diplomat seluruh dunia. Apalagi, setelah pidato Bung Karno usai, tepuk-tangan bergemuruh di gedung PBB itu."

Dalam lawatan yang sama, Bung Karno juga menemui Presiden John F. Kennedy. Ketika itu, Bung Karno sedang gencar-gencarnya menggelorakan kampanye pembebasan Irian Barat. "Dengan pintarnya Bung Karno memainkan diplomasi, sehingga Kennedy setuju dilakukan referendum di Irian Barat. Itu dilakukan Bung Karno dengan pendekatan pribadi kepada John Kennedy dan keluarganya."

Dari Amerika Serikat, Bung Karno mengunjungi Kuba. Ketika itu, Fidel Castro baru beberapa tahun berhasil memimpin revolusi yang menjatuhkan rezim Batista. Dalam sebuah pertemuan yang sudah dijadwalkan, Castro terlambat hampir tiga jam. "Begitu bertemu, Bung Karno langsung memarahi Castro. Tapi, momen ini sengaja tidak diekspose media-massa, atas permintaan Bung Karno sendiri," ujar Satyagraha. Yang muncul di media-massa adalah bagaimana Castro meminta nasehat dari Bung Karno tentang bagaimana membangun kemandirian bangsanya.

Saat di dalam negeri, Bung Karno juga akrab dengan para wartawan. Setiap Rabu pagi, Satyagraha dan beberapa "wartawan istana" lain biasa sarapan pagi bersama Bung Karno, di beranda belakang Istana Negara. "Nah, waktu sarapan bersama itulah, para wartawan memberikan masukan tentang berbagai soal-soal kenegaraan kepada Bung Karno. Kadang kami juga berdebat dengan Bung Karno tentang masalah-masalah politik. Menurut pengalaman saya, dalam pertemuan-pertemuan terbatas seperti itu Bung Karno mau menerima kritik tajam sekalipun, bahkan yang menyangkut kehidupan pribadinya. Tapi, kalau dikritik di depan publik ataupun di media-massa, beliau bisa marah."

Meski begitu, kadang pemberitaan Sulindo, membuat Bung Karno tak berkenan. Suatu hari, Satyagraha dipanggil Bung Karno karena tajuk rencana Sulindo yang ditulisnya mengkritik "aksi sepihak" yang marak dilakukan aktivis PKI di daerah-daerah. "Kamu sekarang sudah komunistofobia," semprot Bung Karno.

Tapi, setelah Satyagraha menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan, Bung Karno bisa menerima. Di awal tahun 1960-an itu PNI memang tengah bertarung sengit dengan PKI. Agitasi dan aksi-aksi para aktivis PKI di daerah-daerah, terutama di pedesaan Jawa, banyak membawa korban para lurah dan camat, yang umumnya menjadi anggota PNI.

Dilain waktu, Sulindo dan Berita Minggu memuat tulisan SK Trimurti berjudul "Kambing Tua Makan Rumput Muda". Isinya mengkritik Bung Karno yang menikah lagi dengan Ibu Hartini. Keesokan harinya, Satyagraha dipanggil Kolonel Sugandi, ajudan Bung Karno. "Saya dimarahi, dan diberi surat tidak boleh datang ke Istana Negara selama tiga bulan. Surat itu ditandatangani Kolonel Sugandi sendiri."

Satyagraha menerima larangan tersebut. Selama tiga bulan ia tidak ke Istana Negara. Setelah tiga bulan berlalu, barulah ia meliput lagi ke istana. Saat ketemu, Bung Karno menegur: "Hei Satya, kemana saja kamu, kok lama nggak kelihatan."

"Lo, kan saya dilarang Pak Gandi masuk istana," jawab Satyagraha.

Mendengar itu, Bung Karno langsung memanggil Sugandi. Yang dipanggil membenarkan, tapi tidak menjelaskan mengapa Satyagraha dilarang masuk istana. "Jadi, sebenarnya Bung Karno tidak pernah membaca tulisan Bu SK Trimurti itu. Larangan itu cuma bikin-bikinan Kolonel Sugandi saja."

Dalam Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),Februari 1959, di Lembang, Bandung, Satyagraha terpilih sebagai Sekretaris Jenderal. Ia masih dipercaya menduduki jabatan tersebut dalam Kongres PWI berikutnya di Makassar, Maret 1961, dan di Jakarta, Agustus 1963-- sampai saat Gerakan 30 September 1965 meletus. Selama tiga periode menjadi sekjen, ia mengalami tiga orang Ketua Umum PWI.

Pertengahan tahun 1965, Satyagraha dipanggil Ali Sastroamidjojo, Ketua Umum PNI masa itu. "Saya diperintahkan menjadi wakil ketua panitia peringatan ulang tahun PNI yang jatuh beberapa bulan lagi. Ketua panitianya Bung Surachman, Sekjen PNI. Pak Ali berpesan acara itu harus lebih semarak daripada acara ulang tahun PKI, setahun sebelumnya. Massa yang hadir juga harus lebih banyak dari massa PKI."

Maka, Satyagraha bersama Surachman pun bekerja keras menggalang massa untuk hadir di acara ulang tahun PNI. Lokasi acaranya sudah ditetapkan: Stadiun Gelora Bung Karno. Satyagraha kebagian menggalang lewat media-massa, terutama Sulindo dan Berita Minggu. Sedangkan Surachman dan pimpinan organ PNI, menggalang massa di cabang-cabang PNI di Jawa. Ketika hari H tiba, 4 Juli 1965, massa yang hadir di GBK membludak, sekitar 150.000 orang. Ketika Bung Karno naik ke podium untuk berpidato, kata pertama yang diucapkannya: "Ckkk…ckkk…Bukan main!"

Tapi, naik-turun jalan kehidupan memang tak bisa diduga. Di awal tahun 1965, Satyagraha ditunjuk DPP PNI sebagai pemimpin redaksi Sulindo, menggantikan Mohamad Isnaeni. Saat itu, ia juga masih menjabat Sekjen PWI. Usianya 34 tahun. Satyagraha ditengah puncak karirnya sebagai wartawan.

Tiba-tiba terjadi Peristiwa 30 September 1965, yang menjadi titik balik kehidupannya. Terhitung 3 Oktober, Sulindo dan Berita Minggu, serta sejumlah surat-kabar lainnya, dilarang terbit oleh tentara. Edisi terakhir Sulindo terbit tanggal 2 Oktober 1965.

Dua minggu kemudian, persisnya tanggal 18 Oktober, Satyagraha ditangkap aparat keamanan. "Saat itu saya dan John Lumingkewas (dari Presidium GMNI) mau menjemput Karim DP di tempat persembunyiannya di Bandung. Begitu sampai di tempat itu, ternyata sejumlah tentara sudah ada disana. Akibatnya, saya dan John juga ikut ditangkap." John Lumingkewas adalah Presidium GMNI, sedangkan Karim DP ketika itu menjabat Ketua Umum PWI. Karim DP sempat buron karena namanya tercantum dalam Dewan Revolusi, yang diumumkan Letkol Untung—komandan G 30 S.

Mereka—Satyagraha, Karim DP, dan John Lumingkewas-- pun dibawa dengan jeep tentara ke Jakarta. "John diturunkan di tengah jalan. Saya dan Karim langsung di bawa ke penjara Salemba. Saat itu sudah menjelang tengah malam. Kami ditempatkan di Blok N, masing-masing di satu sel. Karena kelelahan, saya langsung tertidur. Ketika bangun pagi, saya kaget sekali. Waktu mau mandi, saya ketemu Letkol Untung, Kolonel Latief,  dan Nyono. Ternyata Blok N merupakan tempat tokoh-tokoh utama G 30 S ditahan."  

Setelah pemeriksaan intensif selama sebulan, Satyagraha kemudian dipindahkan ke Blok Q, yang kebanyakan tahanannya adalah dari kalangan intelektual dan seniman. Di Blok Q ini mendekam tokoh-tokoh seniman, antara lain: Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. Sitor adalah salah seorang sastrawan terkemuka Indonesia, yang juga Ketua Lembaka Kebudayaan Nasional (LKN)—organ kebudayaan PNI.

Lima tahun Satyagraha mendekam di penjara, tanpa pernah diadili. "Akibatnya, saya tak bisa menafkahi keluarga saya. Istri saya lah yang membanting-tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Alhamdulillah ketiga anak saya pendidikannya cukup bagus."

Sejak ditahan, ia hanya bisa mendengar kabar tentang Bung Karno dari cerita yang didengar dari istrinya saat membesuk, atau dari cerita para sipir penjara. Hingga suatu siang, seorang sipir membawa koran terbitan hari itu yang memberitakan Bung Karno meninggal dunia, sehari sebelumnya: 21 Juni 1970.

Satyagraha mengenangkan hari itu:  "Mendapat kabar itu, saya tak bisa menahan tangis. Bung Karno, tokoh yang saya kagumi dan hormati itu telah wafat. Dan saya tak bisa ikut mengantar jenasah beliau ke tempat peristirahatan terakhir."

Keluar dari penjara, akhir tahun 1970, Satyagraha sempat bekerja di beberapa tempat. Antara lain, ia pernah bekerja cukup lama di PT Ciria Jasa, perusahaan jasa kontraktor yang didirikan Taufiq Kiemas, Guntur Soekarnoputra, bersama sejumlah mantan tokoh-tokoh GMNI.

Kini, di masa senja hidupnya, Satyagraha tinggal sendirian di rumah sederhana, di pinggiran kota Bekasi. Ia tak mau menjadi beban anak-cucunya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia mengerjakan jasa penerjemahan buku dan dokumen berbahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. "Saya tak pernah menyesali apa yang pernah terjadi dalam hidup saya. Malah, saya bangga sudah pernah memberikan sumbangan pemikiran, lewat Suluh Indonesia,  bagi kemajuan bangsa."  
   
#Imranhasibuan

Rabu, 27 Januari 2021

Dukungan umat islam ke Jokowi, itu real

Dukungan umat islam ke Jokowi, itu real.

Buya: Hentikan Menuding Jokowi Tidak Pro Umat Islam, Ini Faktanya -  Tribunnews.com Mobile

Kalau kita mendengar celotehan para simpatisan PKS. Juga pendukung HTI dan FPI, FUI. Mungkin kita beranggapan umat islam engga suka Jokowi. Suara miring dari mereka itu tidak bisa dijadika tolok ukuran. Walau suara mereka gaduh dan sistematis menyudutkan JOkowi, jumlah mereka sangat kecil. Di bawah 10% dan dampaknya kepada umat islam lain tidak ada. Bahkan semakin dihujat Jokowi, semakin orang islam mencintai Jokowi.

Mungkin anda anggap saya hanya membual. Atau karena saya pendukung Jokowi sehingga saya terlalu anggap kecil yang tidak suka Jokowi. Engga begitu. Saya berusaha objetif. Pilihan politik saya tidak membuat saya jadi follower buta. Data dan informasi yang paling rasional dibandingkan data dari survey adalah data pasar financial. Pembeli produk pasar uang itu engga ada yang bego. Nah, perhatikan. Tahun lalu bulan oktober, Pemerintah meluncurkan instrumen investasi Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) Ritel seri SWR001. Minat investor sangat baik.

Mengapa investor berminat? Kan pasti mereka adalah orang islam. Apa iya mereka punya sumber daya keuangan menyerap CWLS.? berdasarkan survey dari Bank Indonesia (BI), Badan Wakaf Indonesia, dan Kemenkeu, disebutkan sektor sosial Islam yang mencakup juga sistem wakaf ini memiliki potensi hingga ribuan triliun rupiah. Potensi tersebut juga tergambarkan oleh statistik kependudukan, di mana jumlah penduduk beragama Islam yang mencapai 87% atau sekitar 230 Juta jiwa, serta jumlah penduduk kelas menengah yang juga cukup besar yaitu mencapai sekitar 74 juta jiwa.

Kalau orang beli Sukuk, itu wajar. Karena berharap yield ( imbalan) yang sedikit lebih tinggi dari bunga bank. Namun kalau beli CWLS, itu benar benar karena melaksanakan kewajiban beragama dan tingkat kepercayaan yang tinggi kepada pemerintahan Jokowi. Mengapa. ? CWLS, investor tidak dapat imbalan ( Yield ). Walau uang mereka kembali 100% setelah jatuh tempo. Tapi semua imbalan itu diberikan kepada lembaga amal. Bayangin, kalau mereka tidak percaya apa mau mereka membeli CWLS?

Sikap mayoritas umat islam yang berduit itu sangat rasional. Daripada bunga obligasi dinikmati oleh investor, lebih baik bunga itu disalurkan untuk kegiatan amal. Itu sebabnya mereka bersedia masuk ke pasar SBN berbasis CWLS. Agar dalam jangka panjang pembiayaan negara tidak lagi dengan skema bunga memperkaya orang kaya, tetapi sebagai sarana kemandirian pembiayaan negara dan sekaligus sebagai sumber daya keuangan untuk kegiatan amal. Hal itu dibuktikan dari animo partisipasi individu yang cukup tinggi membeli CWL. Termasuk oma yang ikut meramaikan beli. Itu karena mereka mencintai pemimpin yang mereka pilih.
MOMENTUM

by. Arum Kusumaningtyas

Andai kita mau hening dan merenung sejenak. Andai kita mau berpikir dan melihat ke dalam, membaca ulang NUSANTARA.

Bukan tentang aku dapat apa, berapa dan kapan. Tetapi bagaimana kita duduk bersama, bekerjasama, berkolaborasi dan mulai dari mana.

Peluang kebangkitan Indonesia itu jelas-jelas terpampang di depan mata dengan kanal yang terbuka lebar via Global Value Chain. The Great Bay Area China, proyek urbanisasi terbesar Pemerintah China dg Senczhen sebagai titik tumbuh cepatnya.  Menjadi pintu gerbang emas untuk Indonesia.

The Great Bay Area Project yang terus dipercepat pada tahun 2019.  Sehingga Lockdown Wuhan justru menunjukan kekuatan kanal riil yg telah berhasil China kembangkan via  Maritime Silk Road. 82% manufaktur dunia jalur produksinya ada di kota Wuhan ini. China dengan kebijakan panda nya melakukan 'surfing the wave of change'!

Jejak sejarahnya dapat ditarik hingga masa kejayaan Delta Sungai Brantas sebagai pusat ekonomi dan Laut Jawa Bagian Utara sebagai alur lautnya. Ada jejak makam seorang wanita muslim bernama Fatimah Binti Maiumun yg bertarikh 1082 di Gresik yang diperkirakan berasal dari wilayah The Great Bay Area ini. Banyak kota-kota perdagangan penting muncul di Nusantara: Ceumpa (Jeumpa, NAD), Malaka, Banyuasin, Plembang, Hitu (Jepara), Rembang, Lasem, Gresik, Tuban, Sumenep. Dimana semuanya menjadi kota dagang dan kota Agro Industri berbasis Beras di masanya. Sehingga membuat Kerajaan Mataram Hindu pada saat itu, telah menjadi eksportir beras dunia. Kerajaan kaya raya di Jawadwipa.

Jejaring runtuh 1421 karena perubahan Kekaisaran China dibawah Kaisar Zhu. Yg membuat wilayah Asia Tenggara membara...

Jalurnya tetap sama, caranya yg berubah total. Mau seperti Singhosari dan Majapahit yg hancur di era itu karena friksi dan 'kopong' di dalam karena egosentris dan perebutan kewilayahan internal kita sendiri. Atau saatnya kita merubah diri, bukan lagi eranya kompetisi. Berpikir panjang ke depan untuk keberlanjutan generasi yg berwarga negara 🇮🇩 secara utuh di Nusantara.

Tak heran semua kekuatan global kini perlu tagline PEMBERDAYAAN MSY & UKM untuk Nusantara. Jeli!!!



Senin, 25 Januari 2021

Hari Ini 36 Tahun Yang Lalu Borobudur di Bom

Hari Ini 36 Tahun Yang Lalu Borobudur di Bom
Harus masuk dalam buku pelajaran sejarah di sekolah

Inline image

23 Januari 2021 jam 08.42· 
Persis 36 tahun lalu,
Borobudur dibom oleh Abdul Kadir dan Husein bin Ali Alhabsy.
Mereka ditangkap Maret 1985.
Abdul kadir yang dihukum 20 tahun bebas tahun 1994.
Husein yang mendapat hukuman seumur hidup dibebaskan tahun 1999. Arak-arakan terjadi di kota Malang saat dia pulang.
Otak dibalik peristiwa itu masih belum ditemukan hingga saat ini.
Sejak melihat arak-arakan itu aku berjanji untuk menjaga budaya Nusantara dari ulah mereka.

KEDIRI BUKAN HANYA GUDANG GARAM

KEDIRI BUKAN HANYA GUDANG GARAM

Inline image

Pramoedya Ananta Toer kurang lebih pernah menulis begini di novelnya, "Kamu boleh pintar setinggi langit, tapi kalau kamu tidak menulis maka kamu akan hilang dari ingatan masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian..."

Tetapi kalau menulis thok dan tidak pernah diterbitkan menjadi sebuah buku ya tulisan itu hanya akan menjadi konsumsi sendiri dan tidak begitu berdampak pada orang banyak. Masalahnya seberapa banyak sih ada orang yang mau menjadi penerbit buku? bisnis yang tidak terlalu jelas untungnya? apalagi menerbitkan buku di jaman kolonial Hindia Belanda dan bersaing keras dengan Penerbit Balai Pustaka yang dijadikan satu-satunya penerbitan resmi yang disubsidi oleh pemerintah kolonial?

Perkenalkan...inilah Tan Khoen Swie. Seorang Tionghoa yang punya nyali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? bukan dengan teriak-teriak sok nasionalis tetapi dengan tindakan nyata.

Lahir di Wonogiri tahun 1884 konon ia besar di kota kelahirannya dengan menjadi tukang rakit penyeberangan sungai Bengawan Solo. Lalu ia mengembara ke kota-kota lain sambil belajar menguasai bahasa Hakka sebagai bahasa pengantar dengan komunitas Tionghoa di mana pun dia tinggal. Dari pengembaraannya itulah ia kemudian menikahi seorang gadis dari Surabaya bernama Liem Gio Nio dan kelak memiliki 3 anak.

Pengembaraannya berhenti di Kediri. Di kota inilah Tan Khoen Swie semakin fasih berbahasa Jawa rendah maupun tinggi. Ia mampu membaca dan menulis aksara Jawa. Ia juga tertarik pada kebudayaan Jawa termasuk budaya wayang maupun ilmu kebatinan Kejawen.

Dia kemudian menghidupi kebudayaan Jawa tersebut dengan suka bermeditasi, puasa, berlaku vegetarian dan mempunyai minat tinggi pada hal-hal gaib dan ilmu Kejawen.

Minat kepada sastra dan kebatinan Jawa memberi ide baginya untuk mengembangkan bisnis penerbitan bernama Boekhandel Tan Khoen Swie, di rumah sekaligus tokonya (toko Soerabaia) di Jalan Dhaha Kediri. Bisnis itu ia didirikan tahun 1915, jadi 3 tahun sebelum Penerbit Balai Pustaka didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Melalui penerbitannya inilah Tan Khoen Swie benar-benar berkontribusi pada pengembangan kebudayaan Jawa. Fokus bisnisnya adalah buku berhuruf dan berbahasa Jawa, berhuruf latin dan berbahasa Jawa serta berhuruf latin dan berbahasa Melayu. Topik bukunya juga beragam dari buku masakan, pertanian, filsafat, pendidikan, sejarah, agama, sastra bahkan teknik berhubungan seksual suami isteri.

Tan Khoen Swie berjasa besar memasyarakatkan pengetahuan dan filsafat Jawa yang saat itu hanya terbatas dalam kepujanggaan kraton menjadi bentuk buku yang bisa dipelajari oleh semua kalangan masyarakat.

Semua buku-buku Jawa yang legendaris itu adalah terbitan dari Boekhandel Tan Khoen Swie:
- Primbon Jayabaya (Ronggowarsito)
- Serat Wedhatama (Mangkunegara IV)
- Serat Kalatidha (Ronggowarsito)
- Serat Gatholoco
- Serat Dharmogandul
- Serat Nitimani (ini buku kamasutra ala Jawa)
- Serat Babad Kediri

Selain aktif di dunia kebatinan, ia juga memimpin perkumpulan Kioe Kok Thwan, oranisasi Tionghoa Kediri yang melawan kolonial Belanda tahun 1935. Ia tidak pernah mau mengubah nama Tionghoa-nya untuk menunjukkan bahwa orang Tionghoa pun bisa menjadi orang Jawa dan Indonesia tanpa harus menanggalkan identitas aslinya.

Nasionalisme keindonesiaannya juga ditunjukkan dengan menerbitkan buku berbau anti kolonial berjudul "Atoeran dari Hal Melakoeken Hak Perkoempoelan dan Persidangan Dalem Hindia-Nederland" karangan R. Boediharjo (1932) serta buku "Tjinta  Kebaktian Pada Tanah Air" tahun 1941.

Beberapa sastrawan dan pujangga seringkali bermeditasi di rumahnya untuk mendapat inspirasi dala penulisan karya tulisnya. Konon, Tan Khoen Swie juga menjadikan rumahnya sebagai tempat mampir para mantan pengikut Pangeran Diponegoro yang tercerai-berai.

Tan Khoen Swie sampai sekarang dihormati oleh para intelektual Jawa karena jasa dan kontribusinya pada Kasusastraan Jawa. Ia meninggal di Kediri tahun 1953. Anaknya, Tan Biang Liong, meneruskan usaha ayahnya bahkan sempat dipenjara 3 bulan karena menerbitkan buku Aji Asmorogomo, buku teknik berhubungan seksual untuk mendapatkan keturunan yang dilengkapi dengan ilustrasi. Kejadian ini menjadi salah satu penyebab anaknya menghentikan bisnis penerbitan di tahun 1963 untuk berkonsentrasi pada bisnis-bisnis lainnya.

Jadi sekarang ketahuilah, kawan. Kediri itu bukan hanya terkenal karena Gudang Garam-nya saja.

Ingatlah nama Tan Khoen Swie....ketika Anda sedang membaca buku.
Gara-gara dia orang lain jadi berpikir bahwa menjadi penerbit ternyata juga bisa menjadi penghidupan sekaligus mencerdaskan orang banyak.

Untuk j
asa-jasanya itu pemerintah Republik Indonesia belum pernah memberikan penghargaan apa pun kepadanya.

(Osa Kurniawan Ilham)

#edisiimlek
#iqra